Sejarah commuter line indonesia


Elektrifikasi jalur Staatsspoorwegen
Wacana elektrifikasi jalur kereta api sudah didengungkan sejak 1917 oleh perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda Staatsspoorwegen (SS). Saat itu, elektrifikasi jalur kereta api diprediksi akan menguntungkan secara ekonomi. Elektrifikasi jalur kereta api kemudian dilakukan dari Tanjung Priuk sampai dengan Meester Cornelis (Jatinegara) dimulai pada tahun 1923. Pembangunan ini selesai pada 24 Desember 1924.
Proyek elektrifikasi terus berlanjut. Jalur lingkar Jakarta selesai dielektrifikasi pada 1 Mei 1927 dan pada 1930, elektrifikasi jalur Jakarta - Bogor sudah mulai dioperasikan. Kereta yang digunakan ialah lokomotif listrik seri 3000 buatan pabrik SLM–BBC (Swiss Locomotive and Machine Works - Brown, Boveri, & Cie), lokomotif listrik seri 3100 buatan pabrik AEG (Allgemaine Electricitat Geselischaft) Jerman, lokomotif listrik seri 3200 buatan pabrik Werkspoor Belanda serta kereta listrik buatan pabrik Westinghouse dan kereta listrik buatan pabrik General Electric.

Pasca-kemerdekaan
Jalur kereta yang terelektrifikasi tersebut terus digunakan dan diperluas wilayah operasionalnya sejak kemerdekaan Indonesia. Pengoperasian jalur kereta api di Indonesia dilaksanakan oleh Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKA) hingga era PT Kereta Api Indonesia pada saat ini.

Penghapusan trem Batavia
Pada tahun 1960-an, transportasi di Jakarta berada di titik nadir. Soekarno memerintahkan Gubernur Sudiro untuk menghapus trem listrik karena dianggap menyebabkan kemacetan. Akhirnya pada tahun 1960, trem sepenuhnya berhenti beroperasi di Jakarta. Kereta listrik pun ikut dihentikan operasinya akhir 1965. Selanjutnya pada November 1966, seluruh pengangkutan kereta api jurusan Manggarai - Jakarta Kota dibatasi. Hal ini berkaitan dengan merosot tajamnya jumlah penumpang dan kondisi umum kota Jakarta yang tidak kondusif. Biro Pusat Statistik mencatat, jumlah penumpang lokal yang dilayani Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) tahun 1965 merosot 47 persen dibandingkan 1963. Tahun 1965, hanya 16.092 penumpang per hari yang memakai kereta lokal.

Regenerasi
Baru pada tahun 1972, kereta listrik mulai muncul kembali. Harian Kompas tanggal 16 Mei 1972 memberitakan bahwa PNKA memesan 10 set kereta listrik dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan Jakarta. Langkah ini untuk meningkatkan penggunaan angkutan umum dan mengurangi kemacetan yang mulai terasa saat itu.
KRL dan kereta rel diesel (KRD) dari Jepang tiba di Jakarta empat tahun kemudian, 1976. KRL-KRL ini akan menggantikan lokomotif listrik lama peninggalan Belanda yang sudah dianggap tidak layak. Tiap rangkaian KRL terdiri atas empat kereta dengan kapasitas angkut 134 penumpang per kereta. KRL generasi pertama ini kemudian dikenal sebagai KRL Rheostatik dan telah melayani masyarakat Jakarta hingga akhir pengoperasian KRL Ekonomi pada tahun 2013.
Pada Mei 2000, pemerintah Jepang melalui JICA dan Pemerintah Kota Tokyo menghibahkan 72 unit KRL bekas yang sebelumnya dioperasikan oleh Biro Transportasi Metropolitan Tokyo. Kereta ini diresmikan pada tanggal 25 Agustus 2000 dan menjadi KRL berpendingin udara (AC) pertama di Indonesia. Sejak saat itu, Indonesia rutin mendatangkan KRL bekas Jepang untuk memperkuat armada KRL di Jakarta.

Era KCJ hingga Kereta Commuter Indonesia (2008–saat ini)
Pada tahun 2008 dibentuk anak perusahaan PT KA, yakni PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ), yang fokus pada pengoperasian jalur kereta listrik di wilayah Daerah Operasional (DAOP) 1 Jabotabek, yang saat itu memiliki 37 rute kereta yang melayani wilayah Jakarta Raya. Anak perusahaan baru ini merupakan suksesor dari Divisi Angkutan Perkotaan Jabotabek yang telah berdiri sebelumnya. PT KCJ memulai proyek modernisasi angkutan KRL pada tahun 2011, dengan menyederhanakan rute yang ada menjadi 5 rute utama, penghapusan KRL ekspres, penerapan gerbong khusus wanita, dan mengubah nama KRL ekonomi-AC menjadi Kereta Commuter. Proyek ini dilanjutkan dengan renovasi, penataan ulang, dan sterilisasi sarana dan prasarana termasuk jalur kereta dan stasiun kereta, serta penempatan satuan keamanan pada tiap gerbong. Saat Stasiun Tanjung Priok diresmikan kembali setelah dilakukan renovasi total pada tahun 2009, jalur kereta listrik bertambah menjadi 6, walaupun belum sepenuhnya beroperasi. Pada Juli 2013, PT KCJ mulai menerapkan sistem tiket elektronik COMMET (Commuter Electronic Ticketing) dan perubahan sistem tarif kereta.
Pada tahun 2017, PT KAI Commuter Jabodetabek berganti nama menjadi PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), 3 hari setelah ulang tahun perusahaan tersebut yang ke-9. Perubahan nama ini juga mewadahi penugasan penyelenggaraan kereta api komuter yang lebih luas di seluruh Indonesia, sehingga nantinya jalur KRL Commuter Line di wilayah Jabodetabek dan sekitarnya bukan lagi satu-satunya jalur kereta api perkotaan yang dioperasikan oleh PT KCI.

Tiket Elektronik dan Tarif
Kartu Multi Trip (hitam) dan Tiket Harian Berjaminan (putih) milik KAI Commuter Jabodetabek.
Multi Trip dan Single Trip
Sebagai tahapan penerapan program e-ticketing, PT Kereta Api Indonesia dan PT KAI Commuter Jabodetabek mulai 2012 mengganti Kartu Trayek Bulanan (KTB)/Kartu Langganan Sekolah (KLS) secara bertahap hingga pada 1 Juli 2013 ditetapkan menjadi Commuter Electronic Ticketing (Commet). Kartu Commet adalah alat pembayaran pengganti uang tunai yang digunakan untuk transaksi perjalanan KA Commuter Line sebagai tiket perjalanan KA, yang disediakan dalam bentuk kartu sekali pakai (Single-Trip) dan prabayar (Multi-Trip). Penumpang diwajibkan untuk melakukan tap-in di gerbang masuk dan memasukkan kartu single-trip ke dalam gerbang keluar atau cukup tap-out bagi pengguna kartu prabayar di gerbang keluar.
Bersamaan dengan pemberlakuan Commet, sistem tarif progresif diberlakukan. Sistem ini menggunakan hitungan jumlah stasiun yang dilewati sebagai dasar perhitungan tarif tiap penumpang. Awalnya berlaku tarif normal, namun karena adanya subsidi dana public service obligations (PSO) Kementerian Perhubungan bagi KA Commuter, maka tarif berlaku tarif subsidi.

Mulai 1 April 2015, tarif progresif akan mengalami perubahan. Sistem tarif progresif baru akan menghitung tarif berdasarkan jarak. Selain itu, ketentuan uang jaminan untuk THB dan minimal saldo untuk tiket multitrip dan kartu bank berubah.
Tiket harian berjaminan (THB)
Karena penerapan tiket single trip mengakibatkan banyaknya kejadian tiket perjalanan single trip hilang, pada tanggal 11 Agustus 2013 KCJ menerapkan sistem ticketing pengganti sistem single trip untuk penumpang KRL tanpa berlangganan. Penghitungan tarif sesuai dengan skema tarif perjalanan single trip, namun penumpang diharuskan untuk membayar uang jaminan untuk THB. Uang jaminan dapat diambil kembali di stasiun hingga jangka waktu maksimal 7 hari atau ditukarkan kembali dengan THB baru dengan membayar tarif untuk perjalanan selanjutnya.
Kartu Multi Trip (KMT)
Selain tiket harian berjaminan, penumpang dapat menggunakan Kartu Multi Trip (KMT). Kartu Multi Trip adalah kartu prabayar isi ulang yang dapat digunakan penumpang sebagai tiket KRL dengan ketentuan saldo minimum. Kartu tersebut hanya bisa digunakan untuk naik KRL saja dan dapat di isi ulang di seluruh stasiun KRL di Jabodetabek.
Kartu Prabayar (Kartu Bank)
Sejak 8 Desember 2013, kartu Flazz BCA sudah dapat digunakan di Commuter Line, dan sejak tanggal 16 Juni 2014, kartu Mandiri E-Money, Brizzi, BRI, dan BNI TapCash juga sudah dapat digunakan di Commuter Line. Cara penggunaan kartu tersebut sama halnya dengan cara penggunaan Kartu Multi Trip, akan tetapi keempat kartu tersebut tidak dapat dibeli dan diisi ulang di seluruh stasiun KRL di Jabodetabek, melainkan di merchant-merchant terkait, seperti Indomaret, 7-Eleven, dan seluruh halte bus Transjakarta (tunai). Pengisian dapat dilakukan secara tunai maupun dengan kartu ATM bank terkait. Beberapa stasiun KRL juga telah melayani pengisian ulang keempat kartu tersebut, seperti Sudirman dan Juanda, tetapi tidak bisa secara tunai dan harus menggunakan kartu ATM bank terkait (kartu debit maupun kredit). Keempat kartu tersebut juga dapat digunakan sebagai tiket Transjakarta.
Denda (suplisi) dan free out

Pengguna dapat dikenakan denda (suplisi) jika melakukan perjalanan tanpa tiket (anak berumur 3 tahun ke atas/tinggi badan 90 cm wajib memiliki tiket), menggunakan tiket harian berjaminan yang telah kedaluwarsa atau tiket multitrip yang saldonya kurang dari tarif tertinggi. Pengguna THB yang tidak melakukan tapping in/tapping out dengan benar atau tarif dalam tiketnya kurang (turun di stasiun yang lebih jauh), THB akan diambil dan tidak mendapatkan pengembalian uang jaminan. Sedangkan untuk pengguna multitrip yang tidak melakukan tapping in/tapping out dengan benar, maka pengguna harus menyelesaikan di loket dengan membayar tarif tertinggi.
Pengguna Tiket Harian Berjaminan juga mendapatkan fasilitas free out, fasilitas untuk dapat melakukan sekali tapping out pada stasiun yang sama dengan stasiun tapping in terhitung satu jam dari waktu transaksi pembelian THB di loket. Untuk pengguna tiket multritrip terhitung satu jam dari tapping in. Per tanggal 16 Desember 2015 fasilitas free out ditiadakan. Setiap penumpang yang masuk dan keluar di stasiun yang sama akan dikenankan denda. Untuk pengguna KMT atau Kartu Prabayar Bank dikenakan pemotongan saldo sesuai tarif terendah. Untuk pengguna THB, tarif relasi perjalanan di dalam kartu akan hangus, tetapi refund kartu masih dapat dilakukan.
Berkas:KRL Jabotabek Lines.svg
sourcee :
https://id.wikipedia.org/wiki/KRL_Commuter_Line

Komentar

Postingan Populer